ascakebijakan bea masuk distribusi film impor yang mengakibatkan asosiasi produsen film Amerika Serikat tak akan mengedarkan film Hollywood di Indonesia, pemerintah tengah mencari jalan keluar. Menbudpar dan Menkeumasih terus menggodok besaran pajak perfilman untuk film impor.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik dalam konfrensi di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Minggu (20/2) malam, menjelaskan bahwa pembahasan pajak film nasional dan impor masih belum selesai. Sekarang saya dan Mentri Keuangan sedang merumuskan keringanan pajak dan bea untuk film nasional. Untuk film impor sedang di tata ulang, ujar Jero Wacik.
Keputusan final yang melibatkan berbagai instansi pemerintah, Kemenbudpar, Kementrian Keuangan dan Kementrian Perekonomian baru ada 30 Maret 2011 mendatang. Selama ini Jero Wacik, pajak dan bea yang dibayarkan film impor lebih kecil dari yang dibayarkan film nasional. Setiap kopi film impor yang masuk membayar bea masuk sekitar Rp. 2 juta untuk satu film. Bandingkan dengan pajak yang dikenakan untuk film nasional dikenakan pajak 10 persen dari keseluruhan total biaya produksi. Jika sebuah film nasional yang biaya produksinya mencapai Rp 5 miliar, maka diharuskan membayar pajak Rp 500 juta.
Dalam kesempatan yang sama Jero Wacik menegaskan, kebijakan perfilman dan perpajakan adalah hak Indonesia sepenuhnya. Kita bebas mengaturnya tanpa harus tunduk terhadap tekanan-tekanan pihak asing. Saya tidak mau tunduk pada ancaman-ancaman, tegas Jero Wacik.
Dipicu Pajak Distribusi
Sikap Menbudpar tersebut menanggapi protes dari pihak Motion Picture Association (MPA), Assosiasi Importir Film Indonesia, dan Bioskop 21 atas kebijakan pajak perfilman untuk film impor. Bahkan, MPA sebagai asosiasi produser film Amerika memutuskan tidak mendistribusikan film-film Hollywood di seluruh wilayah Indonesia mulai kamis (17/2). Beberapa film ditarik peredarannya, dan yang sudah rencana diputar pun dibatalkan. Kalaupun ada film Hollywood yang diputar di bioskop, jumlahnya tidak banyak.
Lalu apa pemicunya? Pada 10 Januari 2011, pemerintah menerbitkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-3/PJ/2011 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pemasukan Film Impor. Surat edaran itu menyebutkan, penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri oleh importir terkait penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu merupakan yang dikenai PPh 20 persen. Pengenaan pajak distribusi film nasional sudah lebih dulu dikenakan pajak.
Selain mengatur ketentuan pajak distribusi film impor, Surat Edaran Dirjen Pajak itu juga mengubah perhitungan PPN yang selama ini dikenakan pada film impor. Sebelumnya, film impor dikenakan bea masuk, PPN dan PPh hanya berdasarkan panjang film, tanpa perhitungan jenis dan harga film. Hanya dikenakan pajak sekitar 0,43 dollar per meter. Rata-rata per copy hanya sekitar Rp 2 juta. Termasuk murah.
Kuat dugaan selama ini banyak importir yang bermain dengan tidak melaporkan harga transaksi jual-beli film impor secara benar. Mereka hanya melaporkan Nilai Pabean : biaya copynya saja. Itu berlaku untuk semua film. Pukul rata. Baik film yang dibiaya produksinya mahal dan peredarannya sukses maupun yang biasa-biasa saja : biaya produksinya murah dan peredarannya tidak sukses.
Tabloid C&R, Edisi 652, Rabu 23 Februari-1 Maret 2011.
Sumber : tempo
Tanggapan :
Permasalahan pengenaan pajak film impor merupakan salah satu masalah dalam ekonomi makro. Pemerintah membuat surat edaran penaikan pajak impor tersebut dikarenakan adanya dukaan ketidakbenaran penerapan pajak pada transaksi impor film. Namun, apabila pajak impor film tersebut tetap diberlakukan dimungkinkan akan banyak pihak yang merasakan dampak secara langsung. Sebagai contoh, mungkin bioskop – bioskop 21 atau XXI akan mengalami penurunan pengunjung karena film – film Hollywood akan menarik film mereka yang beredar di Indonesia, akibatnya tidak ada film – film baru Hollywood yang diputar di Indonesia. Dampak lebih luas dimungkinkan adanya pengurangan beban perusahaan bioskop – bioskop 21 atau XXI seperti pengurangan biaya pegawai, dll. Semoga dapat diperoleh solusi terbaik dalam pembahasan ulang kebijakan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar